Manfaatkan Waktu Luang Anda Dengan Bisnis Iklan Melalui Google - Search Engine Terbesar Dunia-Gratis Untuk Publisher Anda Dapat Menjadi Publisher Hari ini

 
Go to Google Home   
 

Kamis, Agustus 20, 2009

Gaji Guru dan Dosen Naik 50 Persen Lebih

Jakarta,4/6(Pinmas)--Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memastikan bahwa gaji pendidik, guru dan dosen, dinaikkan hingga lebih dari 50 persen pada 2010
"Dengan adanya kenaikan anggaran pendidikan menjadi minimal 20 persen dari belanja negara, maka yang mendapat cukup banyak (alokasi) adalah para pendidik, guru, dan dosen," kata Menkeu di DPR, Jakarta, Rabu.

Menkeu menyebutkan, kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS), anggota TNI/Polri pada 2010 hanya akan mencapai 15 persen, itu pun termasuk uang lauk pauk.

"Khusus untuk pendidik, guru, dan dosen kenaikannya akan lebih dari 50 persen dan akan dihitung berdasarkan golongannya," tegasnya.

Menkeu melanjutkan, kenaikan ini ternyata tidak hanya berlaku untuk pendidik negeri, namun berdasarkan amanat APBN, juga berlaku untuk pembayaran tunjangan profesi pendidik swasta.

"APBN juga harus membayar tunjangan profesi guru dan dosen non-PNS, asal mereka bersertifikat. Ini mengikuti ketentuan UU tentang pendidikan," jelasnya.

Dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal tahun 2010 yang disampaikan kepada DPR, pemerintah mengusulkan belanja negara sebesar Rp949,1 triliun, pendapatan negara dan hibah Rp871,9 triliun. Dengan postur demikian maka terdapat defisit sebesar Rp77,1 triliun atau 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Sementara belanja negara akan mencapai Rp949,1 triliun yang terdiri dari belanja pemerintah pusat sebesar Rp661,4 triliun dan transfer ke daerah Rp287,7 triliun.

Belanja pemerintah pusat itu terdiri dari belanja kementerian dan lembaga (K/L) Rp330,0 triliun dan belanja non K/L Rp331,4 triliun.(ant/ts)

Sabtu, Maret 08, 2008

Bisnis Internet paling mudah, gratis, aman garansi 100% Mau kan????

Rabu, Februari 20, 2008

KESUKSESAN GOOGLE MENJADI TOP SEARCH ENGINE DUNIA TAK DAPAT LEPAS DARI PERAN PUBLISHER.ANDA JUGA BISA JADI PUBLISHER TANPA BIAYA ALIAS GRATIS MAU JADI PUBLISHER GOOGLE?

Sabtu, Januari 05, 2008

Ratusan Ribu Guru Mentok di IV A


BANDUNG, (PR).-
Sedikitnya 342 ribu dari 2,7 juta guru di Indonesia gagal menembus golongan kepangkatan IV B karena mengalami kesulitan dalam membuat karya tulis ilmiah.

Para guru itu terpaksa memperpanjang waktu untuk menghuni golongan kepangkatan IV A-nya hingga bertahun-tahun.
Hal itu diungkapkan Direktur Pembinaan Pendidikan dan Latihan (Diklat) Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas, Sumarna Surapranata, dalam Rapat Koordinasi PMPTK se-Indonesia di Gedung Pusat Pengembangan dan Pemberdayaan Pendidik dan Tenaga Kerja (P4TK) IPA, Jln. Diponegoro, Bandung, Senin (26/2).
“Saat ini Indonesia memiliki 344 ribu guru yang memiliki golongan kepangkatan di atas IV A. Namun, dari jumlah tersebut, baru 2.200 guru yang bisa naik ke golongan IV B ke atas. Sisanya, menumpuk di golongan IV A karena mentok akibat tidak mampu membuat karya tulis ilmiah,” katanya.
Untuk menembus golongan kepangkatan IV B, seorang guru bergolongan IV A harus memiliki angka kredit tertentu. Angka tersebut diperoleh dari penulisan karya tulis ilmiah berupa penelitian, karangan ilmiah, tulisan ilmiah populer, buku, diktat, dan terjemahan.
“Selama ini sudah banyak guru golongan IV A yang melaporkan karya tulis ilmiahnya ke Biro Kepegawaian Depdiknas. Namun, karena dinilai tidak memenuhi syarat, usulan angka kredit tersebut ditolak,” katanya.
Sumarna menilai, penolakan tersebut kemungkinan tidak semata-mata karena minimnya kemampuan guru dalam membuat karya tulis. “Yang saya khawatirkan, guru bukannya tidak mampu, tapi dibuat tidak mampu dengan berbagai macam aturan pembuatan karya tulis yang sebelumnya tidak dipublikasikan,” ujarnya.
Bahkan, menurut dia, persepsi ini telah menyebar luas di kalangan guru. Akibatnya, banyak guru yang memilih apatis untuk mengurus kenaikan pangkatnya. Mereka menganggap, penolakan kenaikan pangkat tersebut terjadi karena kesengajaan, terkait pembatasan jatah jumlah golongan IV B ke atas. Bahkan, ada juga yang menilai adanya unsur “kerja sama” antara pejabat penilai dan guru yang lolos.
“Padahal yang terjadi, karya guru memang belum memenuhi kriteria kegiatan pengembangan profesi yang disusun Biro Kepegawaian Depdiknas. Sayangnya, kriteria tersebut terlalu tinggi untuk ukuran sebuah laporan karya tulis ilmiah, sehingga menghambat kenaikan pangkat guru,” ujarnya.
Karena itu, ia berharap, agar kriteria pembuatan karya tulis ilmiah untuk syarat kenaikan pangkat kembali ditinjau ulang. Terlebih, menurut dia, persyaratan isi yang harus bermanfaat untuk peningkatan dunia pendidikan masih samar. “Kriteria harus dibuat sejelas mungkin dan disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat agar tidak terjadi kesimpangsiuran,” ujarnya.
Pada periode 2007-2009 ini Diknas berencana menambah jumlah guru bergolongan IV B dari 2.200 menjadi 4.000 orang. Diknas telah menyiapkan anggaran Rp 2,5 juta sampai Rp 5 juta untuk setiap penelitian ilmiah yang akan digunakan sebagai syarat kenaikan pangkat. “Dana tersebut bisa diminta ke pemerintah provinsi,” ujarnya.
Membenarkan
Banyaknya penolakan usulan angka kredit tersebut diakui Kepala Sekolah SDN Banjarsari V, Suparman. Menurut pria yang telah tujuh tahun menghuni golongan kepangkatan IV A itu, masalah pembuatan karya tulis memang menjadi penyebab utama gagalnya guru menembus golongan IV B.
“Teman-teman saya juga banyak yang telah lama berada di golongan IV A. Itu terjadi karena umumnya mereka kesulitan membuat karya tulis ilmiah. Hal itu terjadi karena banyak di antara mereka yang tidak memiliki pengetahuan tentang cara dan kriteria pembuatan karya ilmiah yang baik,” katanya, ditemui di Gedung SDN Banjarsari V, Jln. Merdeka, Bandung, Selasa (27/2).
Akhirnya, lanjut dia, tidak sedikit karya ilmiah guru yang ditolak karena isinya tidak memenuhi syarat. “Tak jarang guru mengambil jalan pintas dengan menyadur atau menulis ulang karya ilmiah orang lain. Namun, karena berhasil terdeteksi oleh tim penilai, mereka pun kembali dinyatakan gagal,” ujar kepala sekolah yang tiga tahun lagi akan memasuki masa pensiun itu.
Selain terkendala pembuatan karya tulis, kata Suparman, masih banyak faktor lain yang menghambat kenaikan pangkat. “Saya sendiri sudah tujuh tahun di golongan IV A karena terjadi kesalahan dalam penulisan nama pada SK PNS saya. Nama dalam SK pengangkatan tersebut tidak sesuai dengan nama pada ijazah terakhir. Saat ini, kesalahan itu sedang diurus. Mudah-mudahan secepatnya bisa selesai, sebelum saya pensiun,” ujar Suparman. (A-150)***

Jumat, November 09, 2007

NILAI SEBAGAI SUMBER MOTIVASI


Bagi guru, khususnya guru mata pelajaran yang memerlukan penalaran tinggi, nilai selalu menjadi masalah yang tak pernah terselesaikan. Nilai selalu menjadi sumber tarik ulur antara keinginan hati dan tuntutan sistem, khususnya tiap akhir semester atau akhir tahun pelajaran. Di satu sisi sistem menuntut guru untuk memberi nilai siswa sesuai standar minimal yang telah ditetapkan (meski harus melakukan ulangan perbaikan berulang-ulang), di sisi lain dalam setiap ulangan siswa tak pernah mendapat nilai di atas atau sama dengan standar minimal, sehingga hati ingin menetapkan nilai sesuai hasil tersebut.
Berbagai sikap atas kenyataan di atas, antara lain sikap bersikeras guru untuk tetap menilai apa adanya, atau ada yang menyerah pada sistem dengan berat hati dari pada harus mengadakan ulangan perbaikan berulang-ulang, dan ada pula yang mengintrospeksi diri terhadap cara mengajar yang telah dilakukan termasuk cara mengevaluasi hasil belajar siswa.
Terlepas dari hal-hal di atas, pada kenyataannya dalam setiap kegiatan pembelajaran yang diakhiri dengan ulangan atau evaluasi, siswa akan merasa senang dan bangga bila mendapat nilai bagus atau setidaknya cukup. Dengan nilai itu ia merasa bisa menguasai materi pelajaran itu tidak sulit untuk ditekuni. Pada keadaan jiwa seperti ini siswa termotivasi untuk lebih tekun mempelajari materi dengan harapan bahwa pada akhirnya nanti seluruh materi dalam pelajaran itu akan terkuasai dan itu berarti bahwa ada modal besar untuk bisa mengerjakan soal ulangan umum atau soal akhir ujian.
Kenyataan di atas didukung oleh teori yang dikemukakan oleh Sardinian (1990) yang dikutip oleh Abdul Hadis dalam buku Psikologi dalam Pendidikan yang mengatakan bahwa ada beberapa bentuk dan cara untuk menumbuhkan motivasi dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah yaitu: (1) memberikan angka pada peserta didik, (2) memberikan hadiah, (3) menciptakan situasi kompetisi di kelas, (4) melibatkan ego peserta didik, (5) memberikan ulangan, (6) mengetahui hasil, (7) memberikan pujian, (8) memberikan hukuman, (9) menumbuhkan hasrat untuk belajar kepada peserta didik, (10) menumbuhkan minat dan (11) merumuskan tujuan belajar yang diakui dan diterima oleh anak.
Selaras dengan teori itu pemberian nilai terhadap siswa memenuhi kriteria sebagai berikut antara lain: memberi angka, memberi hadiah, mengetahui hasil, memberi pujian. Pada saat itu pula pemberian nilai merupakan motivasi ekstrinsik yang diterima oleh siswa tanpa disadari, sehingga menimbulkan motivasi intrinsik. Sebagaimana diketahui motivasi ekstrinsik adalah hal dan keadaan yang datang mendorong untuk melakukan kegiatan belajar, sedangkan motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang datang dan dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorong tindakan belajar.
Asumsi di atas tentu baik jika nilai yang diberikan oleh guru adalah nilai yang baik. Tetapi berbalikan dengan dengan kenyataan di atas, yakni apabila siswa berkali-kali mendapat nilai buruk maka sangat mungkin justru melemahkan motivasi untuk menekuni pelajaran tersebut. Pada dirinya tercipta image bahwa pelajaran itu sangat sulit baginya dan tak mungkin untuk dikuasai. Dalam keadaan perasaan jiwa yang diliputi ketakmungkinan untuk bisa menguasai pelajaran, kemudian pembelajaran atas pelajaran itu berlangsung terus menerus, maka dirinya seperti tersiksa oleh paksaan untuk harus tetap memperhatikan penyajian pelajaran yang tak disukai. Kondisi seperti ini jelas sangat tidak mendukung pembelajaran, bahkan semakin jauh dari hakikat pendidikan itu sendiri. Inilah yang oleh Freire (2002) dikatakan sebagai penjinakan (domestifikasi). Bagi Freire praktik pendidikan harus mengimplikasikan konsep tentang manusia menjadi subyek dari dirinya sendiri.
Fakta di atas sepantasnya menyadarkan kita para guru bahwa pemberian nilai ternyata amat berpengaruh pada motivasi siswa. Selama ini guru banyak mengeluh tentang nilai siswa.yang tidak pernah baik setiap kali memberi ulangan. Atau bahkan ada yang merasa bangga dengan tidak pernah baiknya nilai ulangan itu sebagai pertanda bahwa mata pelajarannya memang sulit dan dengan demikian dianggap bisa menambah wibawa guru di mata para siswa. Kesadaran akan pengaruh besar nilai terhadap motivasi siswa sepantasnya membuat guru memperhatikan kembali hal-hal berikut; petama ada kalanya perlu diciptakan suatu keadaan agar siswa mendapatkan nilai baik atau setidaknya cukup, dengan cara menurunkan tingkat kesulitan pada ulangan yang diberikan oleh guru. Bila ulangan itu soalnya berbentuk uraian, hargailah proses pemikirannya meski jawaban yang diperolehnya tidak sampai pada jawaban yang benar. Carilah alasan seteliti mungkin uuntuk memberi nilai terlalu jelek pada hasil ulangan siswa.
Kedua, kewibawaan guru sama sekali tidak muncul dan image sulitnya mata pelajaran bagi siswa . Bila pada kenyataannya siswa takut pada guru, maka itu bukan karena kewibawaan lalu menimbulkan rasa hormat dan penghargaan yang tinggi, tetapi lebih karena takut pada pelajarannya. Perasaan takut itu pula yang membuat pelajaran semakin tidak disenangi. Jika suatu pelajaran dapat diterima dengan mudah oleh siswa sehingga ulangan siswa semuanya bernilai baik, guru tidak perlu ragu untuk memberi nilai kepada seluruh siswa. Anggapan bahwa bila demikian berarti guru itu murah nilai dan selanjutnya akan mengurangi wibawa tidak selamanya benar. Setiap guru tentu menetapkan lebih dahulu standar kompetensi yang ingin dicapai oleh siswa, sehingga sepanjang bobot ulangan sudah diperhitungkan dapat mencapai standar tersebut maka mengapa mesti dipersulit. Guru boleh saja menghendaki siswanya dapat mencapai nilai lebih dari sekedar standar minimal, tetapi tentu bila kondisi siswa memungkinkan. Jika tidak maka keadaan itu tidak perlu dipaksakan.
Uraian di atas tentu tidak perlu diartikan bahwa guru harus memberi nilai baik kepada siswa. Tetapi yang ingin ditekankan adalah bahwa pada kenyataannya nilai baik dapat memunculkan motivasi bagi siswa untuk lebih tekun balajar dan nilai jelek yang berulang-ulang dapat mematikan minat terhadap mata pelajaran.
Sumber : Warta Guru September 2007
Penulis: Widodo BM (Guru SMP N 1 Sedayu Bantul

Selasa, Oktober 23, 2007

SERTIFIKASI GURU DAN PERMASALAHANNYA

oleh : Akhmad Sudrajat, M.Pd.
Guna meningkatkan mutu pembelajaran dan pendidikan di
Indonesia, pemerintah telah meluncurkan berbagai kebijakan, salah satunya yang saat ini sedang hangat dibicarakan adalah kebijakan yang berkaitan dengan sertifikasi guru. Meski dengan kuota yang terbatas, di beberapa daerah,– melalui Dinas Pendidikan setempat- saat ini sedang menawarkan kepada guru-guru yang dianggap telah memenuhi syarat untuk diajukan sebagai calon peserta sertifikasi. Sambutannya memang luar biasa..... baca selengkapnya

Senin, Oktober 08, 2007

Guru MTs Se -Indonesia Belajar Penelitian


Taman Nasional Gununggede Pangrango Cianjur, Jawa Barat memiliki koleksi tanaman yang sangat komplit dan terlengkap di dunia menjadi lokasi penelitian guru-guru MTs se-Indonesia.